Banyak orang menginginkan kesuksesan namun sedikit saja yang benar-benar berhasil mewujudkannya. Segelintir orang yang sukses itu kenyataannya bersedia melakukan usaha lebih dari yang kebanyakan orang gulirkan. Itulah yang membuat Velly Kristanti, Anika Faisal, Indira Abidin, dan Friderica Widyasari Dewi dapat tampil sebahai pucuk pimpinan si tempat bekerjanya. Merekalah women on top.
Velly yakin setiap orang bisa sukses. Namun, harus ada langkah terarah untuk sampai ke pencapaian tersebut. “Harus fokus dan sepenuh hati menjalaninya,” ujar pengusaha Klenger Burger ini.
Sebegai perempuan, Velly mengandalkan rasa atau intuisi. Sejalan dengan itu, ia menjaga betul agar tidak terbawa emosional. “Nanti bisa jadi tidak objektif kalau begitu.”
Sementara itu, Anika menyerukan agar setiap perempuan yang ingin berkarir membangun mental sekeras baja. Dunia kerja akan terasa lebih keras terhadap perempuan. Ketika cobaan datang, keluarkan semangan tinggi dan jiwa pantang menyerah. Perempuan juga harus membekali diri dengan pengetahuan yang memadai serta mempunyai harga diri tinggi.
Tak kalah penting, seorang perempuan, siapapun dia, harus belajar untuk menampilkan body language yang baik. Sebab, dengan body language yang baiklah, orang akan menaruh hormat. “Mereka memandang kita sebagai profesional, tidak akan merendahkan, apalagi berlaku kurang ajar,” urai Anika yang kini mengemban tugas sebagai Direktur Kepatuhan Bank Tabungan Pensiun Nasional Tbk (BTPN).
Seorang pemimpin perempuan tentu mempunyai gaya memimpin yang berbeda dari laki-laki. Bagi Anika, itu bukan isu yang perlu dipusingkan. Dia percaya bahwa karir merupakan apresiasi untuk dirinya sebagai perempuan dan penghargaan itu layak untuk dijaga.
Bekerja di perusahaan jasa keungan, aktivitas kantor Anika banyak melibatkan urusan rasa. Seperti perempuan lainnya, ia terlahir dengan sensitivitas rasa yang lebih tajam dibandingkan pria. Ia yakin inilah yang menjadikan perempuan istimewa. Apalagi, pada akhirnya, apapun bidang usaha perusahaan, ujungnya adalah deal dengan sesama manusia. “Saya pikir cara yang cocok yaitu leading with your heart, memimpin dengan melibatkan hati, ” kata Anika mengenai gaya kepemimpinan yang ia gunakan.
Sejalan dengan gaya kepemimpinannya, Anika menerapkan all present concept untuk semua karyawan. Konsep ini mengarah pada perlakuan yang baik untuk setiap orang, apapun jabatannya. Sumber daya manusia juga harus sesuai dengan kompetensinya agar yang bersangkutan bisa berkembang optimal. “Terakhir, harus ada kesadaran, masing-masing insan sepatutnya memiliki harga diri yang tinggi dan menjadi bergunalah untuk orang lain,” papar Anika yang menganggap konsep ini sudah berhasil menciptakan suasana kondusif di tempatnya bekerja.
Indira juga bangga menjadi perempuan. Dialah satu-satunya perempuan di jajaran petinggi Fortune Indonesia. Sejauh ini, tak ada perlakuan diskriminatif terhadapnya. “Sebagai profesional, semua direktur memandang kualitas dan kinerja perusahaan, bukan yang lain.”
Indira merasakan perempuan memiliki keunggulan tersendiri ketika menjadi pemimpin. Terutama terkait karakter khas perempuan yang cenderung tidak korup dan lebih norturing alias mengayomi. Di Fortune PR hampir semua pemimpinnya perempuan. “Sebenarnya saya juga mengangkat laki-laki, namun entah mengapa Fortune saat ini lebih maju ketika dipimpin banyak perempuan,” celetuk Indira sembari tergelak.
Indira melihat wanita dapat menjadi penggulir perubahan. Seperti ketika ia membuat program Ayo Sekolah di tahun 1996. Penggerak program tersebut juga perempuan. Ketika perempuan berdaya, ia dapat menjadi pemacu pembangunan. “Ibu adalah kunci,” tegas Managing Director Fortune PR, salah satu anak perusahaan PT Fortune Indonesia Tbk ini.
Nama Indira Abidin telah menjadi trade mark bagi Fortune PR. Perusahaan yang ia pimpin pernah terpilih sebagai The Best of The Best PR Agency oleh sebuah media di tahun 2010. “Pemimpin memang cerminan dari perusahaannya, sehingga sebagai pemimpin jangan pernah berbuat salah,” kata Indira.
Bagi Indira menjadi trade mark dari peruahaan yang ia pimpin, adalah hal yang membanggakan. Namun bagi istri dari Siraj El Munir Bastami hal ini wajar saja kerena pemimpin memang sepatutnya tampil di depan perusahaan. “Sebagai pemimpin, saya harus terus belajar banyak hal selain ekonomi dan kehumasan, ” urai ibu dari Hana Nabila ini.
Tanpa Perlakuan Khusus
Tim yang solid dan berkualitas melancarkan tugas Friderica, namun, ia juga menunjukkan kemampuannya dalam memimpin dan menganalisis. Dia pun melibatkan keunggulan khas wanita saat bertugas. “Banyak kawan mengatakan saya dianugerahi kemampuan untuk mendengarkan yang lain.”
Sejak menjadi keluarga besar BEI, Friderica selalu mendengarkan suara anak buahnya, pria maupun wanita. Selain itu, dia juga menghormati anak buah yang usianya lebih tua darinya. “Terlepas dari posisinya selaku seorang staf, anak buah saya mungkin saja adalah bapak yang dihormati di keluarganya,” ungkap perempuan yang akrab disapa Kiki ini.
Kesan hebat, kuat dan mandiri melekat pada wanita karir. Bayangan itu ada di pikiran Kiki sejak kecil. Perempuan yang tengah mengandung ini berusaha agar citra itu menjadi karakter yang sebenarnya. “Kita tak semestinya menganggap rendah diri sendiri dan meminta perlakuan yang berlebih dari siapapun.”
Ada contoh kecil yang cukup menyentil. Ini menyangkut soal berdandan di kantor saat jam kerja telah tiba. “Kadang saya suka menegur rekan saya yang sudah jam delapan tapi masih dandan di toilet,” tutur dia sambil tertawa.
Learning By Doing
Lepas Dari Bayang-Bayang keberhasilan orang tua bukan hal yang mudah. Itulah yang Indira Abidin rasakan pada awal masa kerjanya di Fortune Indonesia. Di perusahaan tersebut, sang ayah, Indra Abidin, menjabat sebagai presiden direktur.
Lulus dari Universitas Indonesia, Indira telah menjajal di sejumlah perusahaan. Namun, ada rasa tak nyaman yang bergelayut di hatinya. Pada 1996, ia pun bergabung dengan Fortune Indonesia di bagian periklanan. Sejak itu pula, dia bergelut dengan dunia kehumasan. Setahun bekerja, Indira mendapatkan beasiswa master di bidang International Education Development Program di Boston University.
Di Amerika Serikat, Indira sempat bekerja sebagai asisten riset di Boston Medical Group selama dua tahun. Dia hampir saja diangkat menjadi project manager ketika salah seorang pimpinan Fortune Indonesia memintanya untuk pulang. Indira ragu. Apalagi, mengingat gaji besar yang telah membuatnya hidup layak di Negeri Paman Sam. Namun setelah berkali-kali shalat istikharah, hatinya tertuntun untuk kembali bergabung dengan Fortune Indonesia sebagai corporate secretary.
Pada 2001, Indira menjabat sebagai corporate secretary. Dia kembali belajar. Dia mengambil kursus singkat untuk mengetahui dasar-dasar kesekretariatan. Performanya yang mengesankan membuat Indira terpilih sebagai managing director-nya Fortune PR pada 2004. Tak sedikit orang yang mencibir posisi barunya. Empat tahun sejak pengangkatannya, masih banyak orang yang menuding pencapainnya tersebut berkat campur tangan sang Ayah.
Indira menjadikan tudingan itu sebagai tantangan untuk lebih sukses. Ia lantas harus mendorong timnya untuk mengukir prestasi bagi Fortune PR yang kala itu menjadi perusahaan terbuka (go public). Indira sebenarnya tak memiliki pendidikan formal dari dunia kehumasan. Ia belajar cepat dengan learning by doing. Sementara itu, latar belakang pendidikan ekonomi membantunya mengurus perusahaan dengan baik. Setidaknya, ia piawai menjaga kesehatan perusahaan di bidang manajemen keuangan, akuntansi, hingga laporan keuangan.
Sejalan waktu, Indira membuktikan kompetensinya. Dia mendapatkan penghargaan Innovative and Creative Award. Lantas, kabar menggembirakan pun datang pada 2010 dengan terpilihnya Fortune PR sebagai The Best of The Best PR Agency oleh sebuah media.
Mencapai posisi tinggi di sebuah perusahaan ialah hal yang paling dia syukuri. Namun ia lebih bersyukur karena keluarga, terutama sang suami, mendukung pekerjaannya. “Ini benar-benar rezeki Allah SWT,” ujarnya.
Source: Koran Republika
Leave a Reply