By: Wimpi Handoko – Branding & Communication Strategy Expert of Fortune PR
“…Imagine there’s no country, it isn’t hard to do…”
“…Imagine all the people, sharing the world…you…”
Masih ingat lagu mahakarya “Imagine” oleh John Lennon, The Beatles? Kutipan dua bait dari lagu itu diatas merupakan impian John Lennon yang sudah mulai terwujud. Entah bagaimana John Lennon membayangkannya, tapi dunia tanpa batas dan saling berbagi sudah terwujud dengan kemajuan pesat dalam komunikasi antar manusia melalui internet dan ekosistem digital yang terus berkembang.
Suku Tuareg adalah salah satu suku di bagian benua Afrika Utara yang terkenal sebagai bangsa nomaden bergerak membentang dari Maroko di Barat hingga Libia di Timur sama halnya dengan bangsa Gipsi di wilayah Eropa bagian timur. Bedanya jika Gipsi berpindah tempat untuk menetap di suatu tempat dalam jangka waktu lama, suku Tuareg menetap hanya seperlunya untuk melakukan dagang sebelum pindah ke tempat berikutnya sepanjang tahun.
Jadi kalau kita bayangkan bisa menggabungkan suku Tuareg dengan teknologi internet digital, jadilah apa yang dinamakan Digital Nomad. Kelompok manusia yang berpidah tempat untuk melakukan kegiatannya tanpa harus menetap di suatu tempat dengan memanfaatkan ekosistem internet digital yang telah meliput hampir 90% permukaan bumi ini.
Bayangkan jika Anda bisa menawarkan hasil bumi kopi Toraja kepada pembeli di San Francisco sambil ngopi di pantai Pink di Lombok pada hari Senin dan pada hari Kamis Anda sudah ada di taman safari Nuang Mark di Thailand sambil melakukan transaksi 2 ton cengkeh Toli-Toli Sulawesi Tengah dengan importir di Seoul, Korea. Jika Anda seorang professor antroplogi yang kebetulan sedang di Bukittinggi dengan keluarga mendadak mendapat tawaran fantastis untuk memberikan pandangan ahli Anda tentang perilaku sosial-budaya suku Dayak di Kalimantan oleh perusahaan tambang terbesar Australia, sambil ngopi dengan latar gunung Singgalang, Anda dengan mudah (atau mungkin masih susah payah) bisa melakukan video conference bersama jajaran direksi perusahaan tersebut.
Digital nomaden sudah terbayangkan oleh para ahli telematika semenjak lahirnya internet dan maraknya ekosistem digital, namun luasnya implikasi dan manfaatnya baru dirasakan sejalan dengan majunya kompresi digital video, meluasnya dan majunya pemakaian smartphone serta meningkatnya kualitas penyedia jaringan digital dunia.
Di Jakarta dan kota besar lainnya kita bisa temui banyak perusahaan yang menawarkan jasa “virtual office”, salah satu bentuk awalnya Digital Nomad, dimana perusahaan start up atau asing yang belum mampu mempunyai kantor sendiri bisa menyewanya untuk digunakan sebagaimana layaknya fungsi kantor. Pada saat ini ada beberapa perusahaan di Eropa dan Amerika yang khusus melayani kelompok Digital Nomad. Remote Year, Hacker’s Paradise, Terminal 3, WiFi, We Roam, Surf Office adalah beberapa perusahaan layanan dengan ratusan ribu pelanggan kelompok Digital Nomad mulai dari mengelola jaringan provider di setiap negara, merencanakan perjalanan, memilih lokasi, akomodasi, sewa laptop hingga menawarkan tujuan wisata bahkan menyediakan asisten pribadi di negara yang akan dituju. Jika virtual office menyediakan kantor tempat di mana kita akan kerja, perusahaan ini memastikan bahwa kantornya akan mengikuti kemanapun Anda akan bekerja.
Digital Nomad merupakan alternatif cara melakukan usaha masa depan. Manfaatnya tentu bisa dihitung: mengurangi overhead, biaya sewa kantor digunakan untuk perjalanan, asisten pribadi dengan pemahaman lokal di setiap negara, cuti dan kerja bisa tergabung, komunkasi real time menghilangkan perbedaan waktu dan peluang, on site on time dealing lebih nyata. Memang John Lennon mempunyai visi yang jauh. Untung saja liriknya bukan berbunyi “…Imagine there’s no internet…”. Amin.
Leave a Reply