Oleh : Wimpi Handoko
Bagi awam, kata “insights” mungkin pernah selintas mendengar meskipun kurang bermakna atau mempunyai pemahaman yang berbeda-beda. Bagi mereka yang profesinya adalah praktisi brand, pemasaran atau komunikasi, kata (consumer) “insights” mungkin sudah tidak asing lagi, bahkan mungkin paling tidak kata itu muncul 1x sehari karena bagi mereka yang setiap hari bergelut dengan brand, pemasaran maupun komunikasi, (consumer) insights adalah sebuah kata yang menjadi kunci bagi segala keberhasilan brand, pemasaran dan komunikasi.
Definisi “insights” bisa bermacam-macam tergantung mazhab pemasaran apa yang kita pakai. Menurut buku pedoman FORMAX / Fortune Matrix Widya Mantra (klik untuk mengunduh), consumer insight diterjemahkan secara sederhana sebagai “pengetahuan tentang pernyataan/ungkapan ajaib yang mampu merubah keadaan”.
Bagi perusahaan raksasa Procter & Gamble, “insights” adalah penemuan perilaku konsumen yang bernilai Rp. 10 triliun! Mengapa? Karena P&G selama 10 tahun telah membelanjakan lebih dari Rp. 10 triliun dalam riset mereka untuk memahami lebih dalam tentang perilaku konsumennya dengan tujuan agar semua produk mereka selalu tetap mengikuti trend agar tetap relevan dengan konsumennya.
Mencari insights bisa melalui riset yang mendalam dengan metodologi yang mungkin bagi awam melalui proses rumit dan tentunya dengan biaya yang cukup “mahal”. Insights juga bisa “ketemu” melalui pengamatan dan pengalaman pribadi, sebuah proses yang sederhana namun memerlukan kejelian orang yang mengamatinya. Mencari insights yang tepat sama tingkat keberuntungannya dengan mencari emas: bisa ketemu emas di pasir permukaan, ada pula yang menemukan gumpalan emas hanya setelah menggali tanah begitu dalam.
Konsep “book store café” lahir di Harvard Book Store, kota Boston, Massachusetts AS, setelah Frank Kramer, anak pendiri sekaligus pemiliknya, sekian lama mengamati bahwa pengunjung toko bukunya suka sekali membaca buku di tokonya tanpa membelinya. Sebuah “insights” yang jika dibiarkan akan membangkrutkan toko bukunya. Lahirlah konsep “café book store” pertama di Amerika, dimana pengunjung dihidangkan makanan dan minuman a la café sambil sekaligus bisa membaca. Paling tidak mereka akan membayar hidangannya jika bukunya tidak dibeli. Konsep ini kini berkembang di berbagai negara dan bahkan konsep dasar “belanja sambil makan” ini merambah ke jenis bisnis lainnya. Lihat saja di Ranch Market dan Kem Chicks, kalau pengunjung tidak belanja paling tidak mereka bisa belanja makan atau sebaliknya.
Howard Schultz, pendiri dan pemilik Starbucks mendapat idenya dari pengalaman saat dia tinggal beberapa lama berkeliling negara Italia dan terkagum atas masyarakatnya yang menikmati kopi mereka di café-café pinggir jalanan dalam suasana yang romantis dan santai. Dia amati seakan meminum kopi di Itali bagai ritual yang dihormati dan dinikmati bersama dalam suasana sosialisasi yang akrab. Berbeda di negaranya Amerika Serikat, minum kopi adalah ritual terburu-buru di pagi hari sebelum berangkat kantor, atau di kantor saat sedang stress atau di rapat-rapat yang penat.
“Consumer Insight” yang ia dapatkan di Itali ini diterapkan ke dalam konsep baru Starbucks miliknya di tahun 1983 dan lahirlah konsep kopi Starbucks baru yang mendunia: memberi suasana menyenangkan mulai saat dibuatkan hingga menikmati kopinya. Padahal kopinya dari Indonesia…hiks.
Bob Sadino mengalami dan membesarkan insights-nya terhadap para expatriat yang bekerja di Jakarta 40 tahun yang lalu, begitu pula keluarga Sosrodjojo menemukan insight bahwa untuk menikmati teh, masyarakat kita perlu proses, waktu dan hanya bisa melalui cangkir atau gelas. Lahirlah teh botol Sosro dan teh kotak Sosro yang praktis untuk diminum dimana dan kapan saja.
Sebagai pemasar maupun pelaku komunikasi, menemukan sebuah “insight” yang tepat boleh dikata adalah sebuah “anugerah” bisnis yang tak ternilai harganya karena dengan insights tersebut seorang yang jeli bisa menjadikannya sebuah peluang bisnis yang menggiurkan. Tengoklah OLX.com; Go-Jek; Taman Safari, kira-kira apa insights yang mereka temukan?
Leave a Reply